Aku menghela nafas lagi hari ini. Setelah mendapat ocehan dari Ibu mengenai menikah. Ya, menikah dan menikah. Selalu saja jadi perbincangan yang tak ada habisnya. Aku belum berkepala tiga, aku masih 25 tahun, dan aku sangat menikmati masa lajangku, juga pekkerjaanku sekarang ini.
“Cepatlah kamu menikah, buat apa sarjana tapi nggak punya pujaan hati.” Ucap Ibu padaku.
“Bu, aku masih ingin bekerja. Nanti kalau sudah menikah, aku takkan punya waktu untukku sendiri.”
“Itu
“Mendoakan anaknya nih?”
“Bukan begitu, selagi muda
Begitulah, setiap hari itu saja yang jadi perbincangan kami. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Ayah dan kakakku mengurusi lading warisan kakekku di kampong. Lading jagung tepatnya. Kakakku sangat suka bertani dan tangannya ‘dingin’. Makanya ia diajak ayah untuk mengurusi lading bersama.
Sementara aku bekerja sebagai desainer cover buku-buku/novel. Aku sangat menyukai pekerjaan ini dan menikmatinya. Selain bidangnya cocok, teman-teman kerjaku baik. Kami pun tak segan untuk bercengkerama selagi bekerja—bagi kami, mengekspresikan diri melalui imajinasi. Ibu? Beliau sibuk dengan warung baksonya yang terlanjur sukses itu. Masakan ibu memang sangat enak. Pernah aku menyarankannya untuk membuka catering, namun usulku ditolak mentah-mentah dan mendirikan warung bakso atas keinginannya sendiri.
Ya, begitulah keluargaku. Semuanya mengikuti jalur kesukaannya masing-masing. Karena itu aku sangat bersyukur memiliki keluarga seperti ini. Kami bebas berekspresi dan berpendapat. Kami selalu meluangkan waktu untuk bersama. Komunikasi yang membuat keluarga kami begitu melekat erat walau terpisah jarak.
Hari 1
Seperti biasa aku pulang kerja jam 3 sore. Aku selalu menunggu bus di halte seberang jalan kantorku. Kulihat jadwal bis di papan pengumuman. Setengah jam lagi aku harus menunggu. Tapi, tempat duduk halte keburu penuh. Banyak sekali yang menunggu dan berdiri. Saat itulah, aku melihat seseorang.
Aku melihatnya.
Badannya tinggi tegap, menunduk ke bawah sambil memandangi buku yang dibacanya. Serius sekali, seperti sedang menikmati kata per kata di dalamnya. Dia menggunakan jaket berwarna coklat muda, dengan ransel berwarna hitam. Rambutnya seperti kebanyakan anak muda. Wajahnya? Lumayan, masih sangat terlihat muda bagiku.
Kudekati pemuda itu. Lalu menegornya,
“Nunggu siapa mas?”
Dia tersentak lalu menatapku sejenak.
“Oh, nggak nunggu siapa-siapa kok mbak.” Jawabnya sopan.
“Terus, ngapain disini?”
“Saya emang suka jalan-jalan sambil baca. Kalo di kosan, saya ngantuk. Sepi soalnya.”
“Kamu ngekos? Sendiri?”
“Hehe, iya mbak. Saya masih kuliah, makanya ngekost.”
“Oh gitu, saya kira kamu udah kerja.”
“Oh, banyak yang bilang gitu mbak. Katanya, saya ini muka tua.” Jawabnya sambil mesam mesem.
“Emang umur kamu berapa?”
“Masih 20 mbak.”
Muda banget, pikirku. Tapi, dia lumayan juga. Sopan. Jarang ada anak muda begini.
“Oh ya, kalau mbak sendiri nunggu siapa?”
Aku tersentak dari lamunan.
“Eh, sa…saya nunggu bis. Masih lama tapi…”
“Oh gitu. Mbak baru pulang kerja?”
“iya, itu kantor saya, di seberang. Dekat ya?”
“Wah, mbak desainer toh? Hebat ya…” ujarnya sambil melihat tulisan yang terpampang di depan kantorku.
Sejenak kami diam, tak lama kemudian, bis yang kutunggu datang juga.
“Hmm, dek? Eh, mas… saya duluan ya, bisnya sudah nyampe.” Kataku pamit.
“Wah iya mbak, hati-hati.”
“Makasih..”
Bis pun melaju kencang meninggalkan halte itu….
Hari 2
Saatnya pulang kerja lagi. Masih jam dua, tapi kuputuskan untuk langsung pulang saja. Kukirimkan SMS ke ibu, minta dijemput. Aku malas kalau naik bus seperti kemarin, terlalu pengap. Ibu membalas. Dengan satu kata “ya” aku langsung menyeberang untuk menunggu di halte. Saat itu, halte sepi. Yang berdiri hanya anak yang kutemui kemarin. Entah kenapa langkahku jadi ringan menuju kepadanya.
“Ternyata kamu memang hobi baca ya?” sapaku.
Dia melihatku dan tersenyum.
“Eh, mbak. Tumben cepet pulangnya, biasanya jam 3 sore.”
“Iya dek, eh, mas… aduh, bingung mau panggil apa, hehe.”
Dia mengatupkan bukunya dan menjawabku,
“Panggil Fadil saja mbak. Kalau mbak ?”
Aku tersenyum.
“Nina. Dan gak usah pake mbak deh, ngerasa tua jadinya, haha.”
“Iya Nina. Hmm.. ngomong-ngomong, kamu dijemput ya? Barusan bis lewat tapi kamu diam saja.”
“Oh, iya. Hari ini dijemput ibu. Lagi malas aja pulang sendiri.”
“Emang panas banget sih hari ini, pasti kamu pengen ngadem AC mobil ya?”
“Duh, ketahuan deh, haha.”
Tiba-tiba Honda Jazz biru melesat didepanku.
“Eh, itu ibuku, aku duluan ya Fadil..” pamitku.
“Oh iya, hati-hati ya.” Jawabnya sambil senyum. Aku pun membalasnya.
Baru saja aku duduk di mobil, tiba-tiba ibu jadi membahas Fadil.
“Siapa nin, yang tadi sama kamu?”
“Oh, yang tadi. Namanya Fadil. Dia biasa nunggu di depan halte seberang kantorku.”
“Pekerjaannya apa?”
“masih mahasiswa. Kenapa sih bu?”
“kayaknya kamu cocok sama dia Nin, kenapa nggak pacaran?”
Aku tersentak dengan kata-kata itu.
“Duh bu, dia itu masih 20 tahun. Mana mau sama tante-tante kayak aku.”
“Nggak juga Nin, kamu masih cantik kok.”
“Mulai deh, ngerayu.”
“Tapi bener kok Nina sayang, dia itu cocok sama kamu. Soal umur sih, belakangan. Tapi kalau kamu nyaman?”
Aku mengelak lagi.
“Udah deh bu, males ngebahas nikah terus..”
Ibu hanya tersenyum dan mengusap kepalaku..
Hari 3
Hari ini aku telat ke kampus. Dan hari ini juga aku ada kegiatan organisasi. Aku ikut klub jurnalistik. Kegiatannya meliput berita terhangat dan membuat angketnya. Biasanya kegiatan ini sampai jam 6 sore. Itu berarti, aku tak bisa membaca di halte… dan bertemu dia. Padahal baru dua hari mengobrol dengannya, namun aku merasa nyaman..
“hei! Ngelamun aja. Selesain nih angket, nanti siang
“Duh, pak ketum iniii… iya woy, dikit lagi kok..”
“Makanya jangan ngelamun kalo nggak mau dikagetin. Tumben lho Dil, kamu biasanya focus kok…”
“Ah, Cuma perasaan pak ketum aja nih, biasa aja kok.”
“Aaaah, jangan-jangan, kamu udah punya pacar yaa? Hayo Dil, ngaku aja deh!” goda ketua klub.
“Duh, apa-apaan sih pak, godain mulu..”
Kemudian…
“Woyyy, anak-anak! Fadil punya pacar tapi nggak ngenalin kita!!!” teriaknya ke satu ruangan secretariat.
“Wah, Fadil pelit nih, nggak ngenalin lagi.”
“Cieee, Fadil udah gede ya?”
“Fadil, jangan disimpen aja, bawa kesini dong..”
“Aduh! Udah deh! Katanya aku yang mau ngerjain angket, malah aku yang digodain…” seruku.
“Iya boss, nggak digodain lagi, asal kamu kenalin dia ke kita-kita.” Kata ketua klub.
“Sesukamu deh pak ketum…” ujarku masam.
Dasar teman-teman rese’. Semuanya malah tertawa.
“Mbak, permisi! Bisa tolong isi angketnya? Kami mau mengadakan survey…”
Yah, begitulah pekerjaan klub jurnalistik. Mengumpulkan data obyektif dari masyarakat. Keringat sudah membasahi bajuku, dan sudah sore. Kulihat jam di tangan, pukul 4 sore!! Aku melempar kertas-kertas angket itu ke Nasrul, anggota yang lain. Yang kudengar hanyalah seruan para anggota klub agar aku kembali. Namun aku tak peduli. Karena aku ingin mengejarnya. Aku ingin bertemu dengannya!
Sampai juga aku di halte. Dan, syukurlah, dia masih disana.
“Nina!” panggilku.
Dia menoleh, dan tersenyum.
“fadil? Kenapa ngos-ngosan begitu?” tanyanya lembut.
“Maaf ya aku telat. Aku lagi ada kegiatan klub.”
Keningnya mengerut sambil tersenyum.
“Hah? Aku nggak minta kamu kesini kok..” katanya polos.
Aku menjawab sambil tersenyum. Wajahku seakan menjadi indah karenanya.
“Aku pengen ketemu mbak… eh, Nina maksudnya.
“Aduuuh, nggak perlu repot-repot lah.
“Nggak apa-apa kok. Aku senang.”
“Eh?” katanya heran. Namun aku hanya melambaikan tangan.
“Jangan dipikirkan. Sudah ya, aku dikejar-kejar teman kampusku. Dadah!”
Dia hanya menatapku dengan herannya.
Hari 4
Pekerjaanku kali ini kurang focus. Banyak pelanggan yang complain soal desain covernya, atau banyak cetakan yang salah. Entah kenapa aku terbayang kata-kata yang diucapkan anak umur 20 tahun kemarin kepadaku…
“Nggak apa-apa kok. Aku senang.”
Entah kenapa aku sangat memikirkan arti dari ucapannya itu. Matanya, senyumnya, seakan tulus saat mengatakan itu. Bahkan aku sempat kagum akan semangatnya, sampai berlari untuk menemuiku. Aku berfikir, apakah ada sesuatu yang dipikirkannya tentangku? Tapi… apa? Aku tak pernah berbuat lebih untuknya, bahkan kami baru mengobrol 3 hari di halte. Sebenarnya, apa yang dirasakannya?
“Nin, Nina? Hey, kamu mau makan siang nggak? Nina!” sapa Siska sambil menepuk bahuku.
Aku tersentak dari lamunanku.
“Oh, eh, Siska… ayo, kita makan siang. Di warung seberang aja ya.”
“Ayo deh, Vindy dan Rani sudah nunggu didepan tuh..”
Aku hanya melangkah menuju pintu keluar..
Saat sampai di seberang, ada rasa yang kurindukan saat melihat halte tempat kami bertemu… wajahnya, posturnya, senyumannya kepadaku, dan saat dia tersenyum kepadaku, aku menjadi senang. Apalagi setelah dia berlari jauh-jauh dari kampusnya hanya untuk bertemu denganku. Apakah…
“Hey, Nina! Mau pesen apa sih kamu, dari tadi ngeliatin halte terus?” Tanya Vindy sambil menyodorkan menu kepadaku.
“Oh, Vin. Aku mau pesen mi ayam bakso aja deh, sama es the manis.”
“Oke. Aku juga sama deh kayak Nina.” Jawabnya.
Vindy adalah teman baikku di tempat kerja. Dia selalu mendengarkan keluh kesahku. Tapi, aku bingung mau menceritakan soal ini padanya..
“Dari tadi kamu tuh ngelamun terus lho Nin, ada masalah apa sih? Cerita aja…” ujar Vindy sambil menatap wajahku.
Apakah ini kesempatan?
“Emm, sebenarnya, aku bingung….”
“Bingung kenapa sih?”
“Aku… punya teman… lelaki…”
“Lalu?”
“Dia.. yang selalu menungguku di depan halte itu..”
“Karena itu kamu selalu memperhatikan halte itu?”
Aku mengangguk.
“Kemarin, dia datang menemuiku, sambil berlari. Tetapi dia bilang hanya ingin menemuiku. Aku bingung, apa yang dipikirkannya tentangku, sampai dia mau melakukan hal itu. Padahal kami baru 3 hari mengobrol…”
“Mungkin, dibayangannya, kamu adalah wanita yang istimewa. Tapi, cepat juga perasaannya padamu tumbuh, baru juga 3 hari…” jawabnya singkat.
“Maksudmu?”
“Ah, nanti juga kamu ngerti. Udah, makan dulu mi nya. Nanti keburu dingin.”
Aku mengangguk sambil menyeruput es the manis didepanku.
Hari 5
Aku tidak bertemu dengannya kemarin. Dia sudah pulang duluan dan aku telat menyusulnya. Akhir-akhir ini klub memang sedang banyak kegiatan. Waktu aku mengejarnya, itu sudah dihitung ‘kabur’ oleh Pak Ketum. Makanya aku tidak mau kabur lagi. Tapi, karena hari ini pulang cepat, aku putuskan untuk menemuinya jam 3 seperti biasa.
---
Semua mata kuliah akhirnya selesai hari ini! Kuputuskan untuk lebih cepat bertemu dengannya, walaupun masih jam 2 siang. Kupercepat langkahku menuju halte itu. Agar aku bisa membaca karangan Conan Doyle sebentar, baru mengobrol dengannya.
Sampai disana, dia masih belum pulang. Kulihat kantornya masih padat dengan kendaraan. Mungkin dia masih berada di kantornya untuk bekerja. Kuputuskan untuk menunggu 1 jam lagi. Lumayan, bisa baca novel sebentar.
Jam 3. Dia belum datang juga. Kendaraan di depan kantonya semakin sedikit. Aku menunggunya ½ jam lagi. Mungkin dia masih belum selesai dengan pekerjaannya.
Jam ½ 4. Dia masih belum datang. Aku menunggunya dengan beribu harapan. Kumohon, berikanlah aku kekuatan untuk menunggunya sampai ia muncul!
Jam 4.15 . Dia masih belum muncul. Kemana dia pergi. Kantornya semakin sepi, bahkan sudah tutup. Aku putuskan untuk pulang saja.
Namun, tiba-tiba…
Sebuah Honda Jazz biru melesat di depanku. Dia keluar dengan nafas terengah-engah sambil menunduk ke arahku.
“Maaf! Aku sudah membuatmu menunggu ya?”
Dia sadar aku menunggunya selama ini…
“Eh, iya.. nggak apa-apa. Kamu darimana?”
“Aku dari toko buku, ingin membelikan sesuatu untukmu. Kufikir, setelah pengorbananmu yang kemarin, aku harus membalasnya dengan sesuatu. Jadi aku beli ini… semoga kamu suka ya.”
Novel Conan Doyle, Sherlock Holmes… kesukaanku..
“Err, kenapa? Kamu nggak suka ya?” tanyanya..
“Ah, suka kok! Suka sekali! Terima kasih..” jawabku.
Kemudian wajahnya merona.
“Emm… didalamnya ada sesuatu, tolong dibuka ya!”
Kemudian dia masuk ke mobilnya, dan melambaikan tangannya kepadaku sambil tersenyum.
Mobilnya pun segera menghilang dari pandangan.
Segera kubuka buku yang kuberikan darinya, untuk melihat apa sesuatu itu.
Dan ternyata, itu adalah kartu nama!
Shanina Hafiza Karin
+6285669778889
Hari 6
“Ternyata kamu perhatian juga ya?” sindir ibuku sambil cengengesan.
“Apa sih bu…” jawabku merona.
Ya, kemarin aku minta ditemani ibu untuk membelikan hadiah balas budi ku buat Fadil. Sepulangku dari halte itu mukaku memerah sampai kerumah karena disindir ibu. Beliau tidak salah juga, karena hatiku memang bergetar ketika bertemu dengannya. Aku ingin bertemu dengannya waktu itu, lalu kuputuskan untuk minta temani ibu karena aku tidak terlalu mengerti perasaan cowok dan kurasa ibu lah orang yang tepat untuk ini. Ibu menyarankan aku untuk membeli sebuah novel karangan Conan Doyle itu.
“Kalau ia tidak suka detektif gimana? Aku malu..”
“Lho? Kok kamu yang malu sih? Ini
“Iya sih, tapi kalau dia lebih suka Chicken Soup? Dia itu suka baca buku psikologi bu..”
“Naaah, ketahuan deh mikirin dia. Kamu suka ya?”
Mukaku memerah seketika.
“Ah, ng,nggak kok! Siapa bilang? Baru juga ketemu tempo hari…”
“Tapi kamu sangat memperhatikannya. Dan kayaknya, kamu tahu banyak tentangnya?” sindir ibuku lagi.
Aku melengos.
“Hmm, yaudah deh, yang ibu pilih saja..” kataku.
Kemudian, kami ke kasir untuk membayar bukunya. Namun, aku melihat ada kartu kecil, seperti kartu nama. Akhirnya, aku punya ide.
Kubayar lebih untuk kartu itu, kemudian kutuliskan nomor handphone dan nama lengkapku, agar dia tidak repot-repot mengejarku seperti kemarin. Kasihan dia. Lagipula, hari ini aku off, dan pasti dia sedang kuliah.
Akhirnya, ibu mengantarku sampai halte tempat ia masih menungguku. Dan begitulah, aku masih digodain sampai sekarang..
Tiba-tiba, HP ku berbunyi.
SMS dari siapa ini? Nomornya tidak ku kenal…
From : +628994567789
Nina, ini aku, Fadil. Nomornya di save ya? Kemarin belum sempat ngasih tau nomor ini.
Oh ya, aku suka novelnya lho, makasih J
Aku tersenyum membacanya.
To : Fadil
Iya, udah aku save, Dil. Nggak apa-apa kok.
Bagus deh, kalo kamu suka :D
Kemudian, tak lama lagi ada SMS masuk.
From : Fadil
Hehe, iya deh.
Udh dlu yh. Ad dosen nih, yg ini killer. Nanti SMS lagi deh kalo udh slesai, ok ? ;)
Kubalas lagi.
To : Fadil
Beres. Yg bener ya belajarnya J
From : Fadil
Ok deh ;)
Kemudian aku melanjutkan masak-masakku di dapur.
Jam 3 sore.
Hujan turun dengan derasnya. Namun, ibu harus pergi karena ada arisan alumni SMA nya dulu. Terpaksa aku menjaga rumah sendirian saja. Kuputuskan untuk mendengarkan music dari mp3 player saja.
Laalu, HP ku berbunyi.
From : Fadil
Kamu dimana? Di halte nggak ada..
Kubalas lagi.
To : Fadil
Hari ini aku off. Jadi nggak kerja.
From : Fadil
Bisa ke halte sekarang? Aku mw bicara. Penting.
To : Fadil
Nggak bisa. Aku jaga rumah, sendirian.
From : Fadil
Aku tunggu sampai kamu datang….
Aku bingung membalas SMS itu. Aku takut keluar rumah, diluar hujan dan petir menyambar. Aku nggak mungkin pergi dengan cuaca seperti ini….
Tetapi..
Dibanding dengannya, aku kalah. Dia rela hujan-hujanan demi bertemu aku, kabur ditengah kegiatan klub… itu semua, untukku.
Aku berlari keluar dengan jas hujan dan payung yang ku genggam erat. Aku berlari sekuat tenaga menuju halte. Kalau dia berjuang untukku, aku juga akan berjuang untuknya..
Dia sudah menungguku dengan baju yang basah kuyup. Tasnya ia peluk untuk menghindari dinginnya hujan ini. Kepalanya menengadah, menghadapku, lalu tersenyum.
“Akhirnya kamu datang juga..” katanya sambil tersenyum.
Aku begitu iba melihatnya..
“Kenapa… kamu lakukan ini semua..?”
Dia mencoba berdiri tegak, dan sekarang ia berhadapan denganku…
“Awalnya aku hanya menganggapmu senior, yang sudah berpengalaman disbanding aku. Tapi ternyata, aku salah. Semakin hari, aku hanya ingin melihat senyummu, sapaan mu, dan kamulah yang selalu ingin kulihat dengan mata ini.
“Aku menyukaimu, Nina. Maukah, kamu…menikah denganku?” Katanya lirih.
Air mataku hampir jatuh…aku tak percaya akan mendapat lamaran darinya…
“Walaupun aku lebih tua darimu 5 tahun?” kataku.
“Buatku, semuanya tidak jadi masalah ketika aku menyukai seseorang. Dan itu hanya dia yang ada di depanku saat ini..” katanya pasti.
Aku hanya tersenyum.
“Mungkin, aku memang wanita yang tercipta dari tulang rusukmu ya, Fadil?”
Wajahnya sumringah dan tersenyum.
“Mu..mungkin juga.” Katanya riang.
Kemudian, dia mengantarku pulang, ditengah-tengah rintik hujan yang mulai reda…
Hari 7
Semua keluargaku pulang begitu mendapat kabar aku akan menikah, dan lamarannya besok. Ayah dan kakakku mengucapkan selamat padaku. Mereka bahkan membawakan aku sayur-mayur dari kebun mereka.
Saat kamu datang kerumahku esok hari, aku yakin dalam hati ini, dan aku akan menerima lamaranmu itu….
15 tahun kemudian….
“Yah, ayo ke halte itu dong! Aku ingin lihat seperti apa sekarang…” kataku riang.
“Sabar dong, lagi nyetir nih…”
Dia tersenyum dan mengusap kepalaku.
“Kamu sudah tak sabar melihatnya ya?”
“Iya dong, itu
“Tempat yang, penuh kenangan untuk kita…..”
24 Syawal 1430H, 16:34 WIB
When the drizzle came out………
Tidak ada komentar:
Posting Komentar